Senin, 01 Desember 2014

Lembaga Wakaf



WAKAF
A.    Pengertian Wakaf
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syara’, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.[1]
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
1.      Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
2.      Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.
3.      Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
4.      Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat
5.      Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.[2]
B.     Perkembangan Wakaf Di Indonesia
Paradigma pengelolaan wakaf secara mandiri, produktif dan tepat guna dalam membangun sebuah peradaban masyarakat yang sejahtera sesungguhnya telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika memerintahkan Umar Bin Khattab agar mewakafkan sebidang tanahnya di Khaibar. Esensi penting dari perintah ini dapat dipahami adalah pentingnya sebuah eksistensi benda wakaf dan mengelolanya secara profesional. Sedangkan hasil dari pengelolaan tersebut tentu saja diperuntukan bagi kepentingan kebajikan umum.[3]
Sebagai sebuah bangsa Islam yang besar, baik dari sisi geografis maupun demografi, istilah wakaf mungkin belum begitu familiar ditengah masyarakat Indonesia. Dari pengamalan wakaf yang sering ditemui dimasyarakat Indonesia, dewasa ini masih tercipta perspektif wakaf yang lebih diartikulasikan sebagai bentuk benda yang sifatnya tidak bergerak seperti sebidang tanah, sebuah bangunan dan benda lain yang nilai manfaatnya diperuntukan bagi kepentingan sosial masyarakat. Kedua, dalam praktiknya, diatas tanah wakaf biasanya akan diikuti oleh didirikannya sebuah bangunan ibadah seperti masjid atau lembaga pendidikan. Ketiga, penggunaan wakaf harus didasarkan kepada wasiat pemberi wakaf (wakif). Selain itu juga terdapat penafsiran bahwa untuk menjaga kekekalannya, tanah wakaf tidak boleh diperjualbelikan.
Padahal benda yang bergerak, seperti uang misalnya, pada hakikatnya juga merupakan salah satu bentuk instrumen wakaf yang memang diperbolehkan dalam Islam. Saat ini dikalangan masyarakat luas mulai muncul istilah cash waqf yang sering diterjemahkan sebagai wakaf tunai. Bila menilik objek wakafnya yang berupa uang, kiranya lebih tepat jika cash waqf diterjemahkan sebagai wakaf uang. Praktik wakaf uang atau tunai sebenarnya telah dilakukan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi pada zamannya. Artinya bentuk wakaf uang atau tunai ini memang telah muncul sejak lama dan diaplikasikan oleh kelompok masyarakat tertentu yang menganut paham tertentu sebagai salah satu bentuk ibadah.
Perbincangan tentang wakaf uang atau tunai ini semakin mengemuka ketika perkembangan sistem perekonomian dan pembangunan yang ada memunculkan inovasi-inovasi baru dewasa ini. Wakaf uang atau tunai mulai diidentikasikan sebagai sebuah instrumen financial (financial instrument), keuangan sosial dan perbankan sosial (social finance and voluntary sector banking) yang mampu berafiliasi dengan perkembangan perekonomian dunia saat ini menurut M.A Manan.
Ini menandakan bahwa sebenarnya berkembangnya wakaf tunai yang semakin cepat, mulai menjadi bagian penting dalam pembiayaan perekonomian terutama di sektor perdagangan dan invetasi yang tentu saja tidak lepas juga dari majunya sistem perekonomian Islam pada saat ini. Semakin berkembangnya peranan wakaf, terutama dalam bentuk uang, dilatarbelakangi juga oleh gagalnya sistem kapitalis dan sistem ekonomi sosialis yang tidak mampu menjawab permasalahan mendasar mengenai prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat di dunia dewasa ini.
Ada berbagai definisi mengenai pengertian wakaf. Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf, mendefinisikan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah (ketentuan umum dan pasal 2).
Imam Abu Hanafah memberikan mendefiniskan wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Imam Malik berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada orang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Esensi dari semua definisi diatas mengkerucut kepada adanya harta yang diberikan seseorang untuk dimanfaatkan kepada hal yang sifatnya kebajikan dan berguna bagi kehidupan sosial masyarakat secara umum.
C.    Badan Wakaf Indonesia
Ditengah permasalahan sosial masyarakat yang semakin rumit dan tuntutan akan sebuah kehidupan yang adil dan makmur sesuai dengan amanat UUD 1945, menjadikan peran wakaf semakin penting dalam membangun peradaban umat Islam di Indonesia. Disamping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang memiliki dimensi spiritual, wakaf merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Karena itu diperlukan pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi rill persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting.[4]
Untuk konteks Indonesia, perkembangan wakaf mulai menggeliat kembali dimulai sekitar tahun 2000-an. Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf menjadi jawaban bagi masa depan perwakafan di Indonesia agar dapat diberdayakan secara lebih produktif dan mandiri. Keterbatasan mengenai fungsi dan manfaat wakaf yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 serta Peraturan Dasar Agraria yang terangkum dalam UU No.5 Tahun 1960 yang hanya mengatur benda tidak bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdhah, seperti masjid, musholla, pesantren dll setidaknya untuk saat ini mulai dapat diakomodasi kekurangannya dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 2004.
Pemberdayaan wakaf setidaknya semakin menjadi lebih baik lagi ketika dari sisi impelementasinya, pemerintah juga mengeluarkan peraturan perundangan No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan wakaf itu sendiri. Kedua peraturan itu menjadi urgensi yang sangat penting, karena selain untuk kepentingan ibadah yang sifatnya mahdhah, aspek penekanan terhadap pemberdayaan wakaf secara lebih produktif untuk kepentingan sosial dan kesejahteraan umat juga dikedepankan sehingga akan berjalan selaras.
Pengelolaan wakaf secara profesional ini sangat penting karena data yang dikeluarkan oleh Departemen Agama tahun 2003 yang juga diperkuat oleh data CSRC (Centre for the Study of Religion and Research) sedikit banyak memberikan gambaran bahwa asset wakaf di seluruh Indonesia adalah 362.471 lokasi dengan total nilai sekitar 590 trilyun. Sayangnya hampir semua asset wakaf tersebut masih cost centre sehingga masih memerlukan investor untuk memproduktifkannya. Salah satu sumber dana investasi yang dapat dioptimalkan adalah dana cash waqf seperti yang dilakukan oleh Prof. M.A Mannan dengan SIBL nya di negara Bangladesh.
Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 juga membawa konsekuensi bagi sistem pengelolaan wakaf di Indonesia agar lebih professional dan independen. Untuk itu diperlukan suatau lembaga baru yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memberdayakan asset wakaf di Indonesia agar lebih produktif. Pentingnya pembentukan sebuah lembaga wakaf nasional yang bersifat independen diperlukan dalam rangka untuk membina Nazhir (pengurus harta wakaf) dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik secara nasional maupun internasional.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) pun lahir sebagai jawaban bagi pengembangan pengelolaan perwakafan Indonesia dengan lebih profesional dan modern sehingga menghasilkan manfaat wakaf yang dapat mensejahterakan umat. Sehingga kelak Badan Wakaf Indonesia akan menduduki peran kunci, selain berfungsi sebagai Nazhir, BWI juga akan sebagai Pembina Nazhir sehingga harta benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktif.
Potensi wakaf uang pada tahun 2007 untuk Indonesia nilainya sekitar tiga trilyun per tahun. Jumlah ini memang masih jauh bila dibandingkan dengan potensi zakat yang nilainya sekitar 21 trilyun menurut data PIRAC. Tetapi perbedaan yang sangat signifikan adalah bahwa dana wakaf pokoknya akan tetap utuh dan semakin terakumulasi dari tahun ke tahun. Hal ini berbeda dengan dana zakat yang akan langsung habis dalam satu tahun. Tetapi angka tiga trilyun tersebut masih merupakan data yang terlalu muluk karena faktanya di lapangan, penghimpunan dana wakaf uang di Indonesia masih sangat sedikit. Sebagai contoh Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang dikonsentrasikan untuk penghimpunan dan pengelolaan wakaf uang baru mampu mengumpulkan dana wakaf uang sekitar dua milyar per tahun.
Oleh karena itu Badan Wakaf Indonesia (BWI) ke depan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang mengelola wakaf secara independen dan mandiri agar dana yang dikelola lebih produktif, akan tetapi fungsi penyadaran dan sosialisasi terhadap masalah wakaf, baik fungsi dan manfaatnya kepada masyarakat harus juga dimainkan perannya oleh Badan Wakaf Indonesia itu sendiri. Selama ini memang efektifitas untuk memberdayakan wakaf dan juga menarik dana wakaf dari masyarakat untuk dikelola oleh lembaga wakaf belum maksimal. Hal ini karena realisasi pencapaian di lapangan dengan potensi wakaf dimasyarakat sendiri belum berbanding lurus dan mencapai titik yang ideal.
Jika menengok keberhasilan dari negara Bangladesh dalam pengelolaan wakaf tunai dengan dilakukannya sosialisasi pengenalan Sertifikat Wakaf Tunai, ternyata dapat mengubah kebiasaan dan pemahaman lama di tengah-tengah masyarakat Bangladesh, di mana biasanya orang yang berwakaf diidentikkan hanya melibatkan orang-orang kaya saja. Dengan adanya Sertifikat Wakaf Tunai yang dikeluarkan oleh Social Investment Bank Limited (SIBL) memang dibuat dengan nilai yang dapat dijangkau oleh mayoritas masyarakat Islam. Pola seperti ini, menjadikan ibadah wakaf bukan hanya didominasi orang-orang kaya, tetapi juga dapat diamalkan oleh orang banyak sesuai keadaan keuangan masing-masing. Selain itu pola seperti ini lebih mudah untuk diamalkan, karena tidak memerlukan proses administrasi yang rumit seperti halnya wakaf atas benda tidak bergerak.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga wakaf nasional kiranya dapat mencontoh pola pengembangan wakaf yang ada di Bangladesh atau setidaknya mengadobsi dengan menyesuaikan karakteristik budaya masyarakat Indonesia. Diversifikasi program dan juga instrumen kebijakan yang lebih mudah dicerna dan mengakomadasi budaya-budaya lokal yang ada di Indonesia, dapat diterapkan mulai saat ini seperti yang terjadi di Bangladesh. Keragaman budaya lokal yang sangat dinamis dan suku bangsa yang banyak di negara kita, menjadi permasalahan sekaligus potensi tersendiri bagi Badan Wakaf Indonesia dalam menghimpun dan mengelola dana masyarakat secara luas. Jika pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat dilakukan sesuai dengan budaya lokal yang ada dimasyarakat, bukan tidak mungkin efektifitas penghimpunan dana dan pengelolaan dana akan tercipta dan lebih efektif.
Badan Wakaf Indonesia mempunyai fungsi sangat strategis dalam membantu, baik dalam pembiayaan, pembinaan maupun pengawasan terhadap para Nazhir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf secara lebih produktif. Pola organisasi dan kelembagaan Badan Wakaf Indonesia harus mampu merespon persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Ditingkat masyarakat, persoalan yang paling mendasar adalah kemiskinan, baik dalam arti khsusus, yaitu seperti yang dicerminkan dengan tingkat pendapatan masyarakat, maupun dalan arti luas, yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan atau pemenuhan hak-hak asasi pada umumnya.
Untuk alternatif sumber dana, wakaf yang dikelola oleh sebuah lembaga nasional seperti Badan Wakaf Indonesia misalnya, dapat dijadikan sumber dana potensial dalam mengatasi permasalahan sosial seperti kemiskinan dan aspek permasalahan turunnya. Masalah sosial kemasyarakatan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara semata saja sebagai sebuah institusi tertinggi dari penyelenggaraan tata pemerintahan, namun menjadi persoalan bersama yang harus diselesaikan dengan bersama-sama pula. Organisasi kemasyarakatan yang berbasis Islam turut juga bertanggung jawab dengan membangun gerakan sosial yang lebih realistis dalam mengatasi permasalahan ini. Akses sumber daya wakaf patut juga diberikan dan dibuka secara luas kepada organisasi-organisasi Islam dan non Islam yang berafiliasi sosial agar masalah kemiskinan yang ada dapat teratasi. Peran Badan Wakaf Indonesia menjadi semakin penting dalam memainkan perannya. Tugas pokok seperti mengadministrasi sampai dengan pengelolaan dana wakaf harus selaras dengan program yang telah dibuat. Acuan waktu yang dipakai juga harus dapat diukur seperti jangka pendek, menengah dan panjang karena hal ini akan terkait dengan visi dan misi organisasi yang dibuat.
Dalam membiayai pembangunan dan pengentasan kemiskinan, Badan Wakaf Indonesia bersama pemerintah seharusnya juga dapat bersinergi dalam rangka memanfaatkan sumber daya wakaf untuk kepentingan bangsa. Potensi dana wakaf yang sangat besar dapat dikelola untuk sumber pendanaan pemberdayaan ekonomi umat secara umum. Wakaf sebenarnya juga dapat menjadi alternatif solusi bagi pendanaan pembangunan negara jika dikelola dengan baik. Selama ini secara konvensional dana pinjaman untuk pembiayaan utang negara diambil dari utang luar negeri atau dalam negeri. Instrumen yang dipakai pemerintah pun tidak jauh-jauh dari Surat Utang Negara, Penerbitan ORI dan instrumen pinjaman modal lain yang pada intinya berusaha menarik dana masyarakat untuk dipinjam oleh negara dalam rangka membiayai pembangunan. Wakaf sebenarnya dapat memainkan peran sebagai instrument pengganti jika dikelola dengan maksimal. Sayangnya pengelolaan sumber dana wakaf ini masih kurang maksimal. Sehingga untuk menuju kearah itu masih dibutuhkan waktu yang lama.
Lembaga wakaf nasional seperti Badan Wakaf Indonesia, harus sudah mulai dapat menjalin kerjasama dengan pihak swasta dalam pengelolaan wakaf untuk produktifitas benda wakaf yang dikelolanya. Aset wakaf yang ada dapat diberdakan secara kolektif dengan swasta profesional untuk mengerjakan proyek-proyek yang mengikutsertakan aset wakaf tersebut sebagai bagian utama kegiatan usaha seperti dibidang pertanian.
Mencermati lebih lanjut mengenai faktor penyebab utama mengapa potensi wakaf di Indonesia belum produktif, pada prinsipnya masalah ini terletak ditangan Nazhir, selaku pemegang amanah dari Waqif (orang yang berwakaf) untuk mengelola dan mengembangkan harta wakaf. Artinya, pengelolaan harta wakaf belum dilakukan secara profesional.
Di lihat dari cara pengelolaannya selama ini, ada tiga tipe Nazhir di Indonesia. Pertama, dikelola secara tradisional. Harta wakaf masih dikelola dan ditempatkan sebagai ajaran murni yang dimasukkan dalam kategori ibadah semata. Seperti untuk kepentingan pembangunan masjid, madrasah, mushala dan kuburan. Kedua, harta wakaf dikelola semi profesional. Cara pengelolaannya masih tradisional, namun para pengurus (nazhir) sudah mulai memahami untuk melakukan pengembangan harta wakaf lebih produktif. Namun, tingkat kemampuan dan manajerial nazhir masih terbatas. Ketiga, harta wakaf dikelola secara profesional. Nazhir dituntut mampu memaksimalkan harta wakaf untuk kepentingan yang lebih produktif dan dikelola secara profesional dan mandiri.
Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI), selaku lembaga independen yang lahir berdasarkan amanat UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, memiliki tanggung jawab besar dalam memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia (Pasal 47). Selain itu, Badan Wakaf Indonesia juga bertanggung jawab dalam membina Nazhir agar menjadi lebih profesional. Misalnya dengan menyelenggarakan sejumlah pelatihan pengelolaan harta wakaf, menerbitkan buku-buku wakaf dan lainnya.
Apalagi, pengembangan wakaf kini didukung oleh UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No 41 tersebut, maka tidak ada alasan lagi bila pengelolaan dan pengembangan harta wakaf di Indonesia tertinggal dengan negara-negara lain di dunia. Mestinya, Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar.
Di era otonomi daerah yang semakin menguat, potensi pengembangan wakaf juga semakin besar jika disinergikan dengan peraturan dan keinginan daerah. Tentunya hal ini akan menjadi hal yang menarik karena otonomi daerah sangat memberikan peluang bagi pengembangan dan pemberdayaan pengelolaan wakaf itu sendiri. Pola pengembangan organisasi Badan Wakaf Indonesia sendiri sudah harus mulai berorientasi kepada daerah dengan menyiapkan SDM Nazhir di daerah agar lebih profesional. Fungsi-fungsi yang melekat di tubuh Badan Wakaf Indonesia seperti fungsi motivator, fungsi fasilitator, fungsi regulator, fungsi eduation, dan fungsi pendukung lainnya harus selaras dan tidak over lapping dalam implementasinya. Diperlukan sistem organisasi yang tanggap dengan tantangan jaman dan perubahan yang dinamis di masyarakat dalam mengefektifkan wakaf sebagai alternatif sumberdaya untuk penciptaan kesejahteraan sosial masyarakat.
Jika dicermati lebih dalam selama ini masih banyak sumber daya daerah yang belum dikelola denan baik. Jika masing-masing daerah yang memiliki sumber daya yang cukup memadai, bukan tidak mungkin bahwa lembaga perwakafan dibentuk melalui peraturan daerah (Perda) dan khusus mengatur tentang kemungkinan dan kelayakan wakaf, baik yang menyangkut wakaf konvensional, wakaf uang, dan bentuk wakaf lain. Sehingga persoalan wakaf tidak lagi menjadi otoritas pemerintah pusat atau lembaga tertentu yang ditunjuk pemerintah pusat, melainkan juga mejadi program produktif masing-masing daerah yang akan membawa kemaslahatan bersama bagi masyarakat daerah juga.
Untuk menjalankan semua rencana praktis diatas, maka peran Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga pengelola harta (dana tunai) wakaf nasional memerlukan sumber daya manusia yang baik sesuai dengan merit system organisasi dan kecakapan ilmu yang dimiliki dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannya.
Peningkatan kualitas SDM pengelola wakaf seperti Nazhir diperlukan karena sudah menjadi sebuah rahasia umum bahwa lembaga keummatan selalu identik dengan ketidakprofesionalan, sehingga lembaga keummatan termasuk lembaga wakaf bukan menjadi pilihan awal tenaga kerja nomor satu. Lembaga ini selalu menjadi pilihan nomor dua atau bahkan pilihan akhir ketika tidak ada perusahaan atau lembaga lain yang menampungnya. Dan lebih parahnya adalah menjadi tempat pembuangan SDM yang sudah tidak produktif. Sehingga tidak salah apabila kinerja lembaga keummatan termasuk wakaf tidak dapat tumbuh secara cepat, baik tumbuh dalam penghimpunannya maupun pengelolaannya. Dan menjadi tugas bersama untuk meningkatkan kualitas SDM lembaga wakaf ini, sehingga nantinya tidak terdengar ada asset wakaf yang tidak dikelola, atau terdapat asset wakaf yang hilang, diperebutkan dan lain sebagainya.
D.    Syarat dan Rukun Wakaf
Syarat-syarat harta yang diwakafkan sebagai berikut:
1.      Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut takbid).
2.      Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya, “Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz
3.      Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang diwakafkan (mauquf) itu
Rukun wakaf diantaranya :
1.      Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya;
a.       Kehendak sendiri
b.      Berhak berbuat baik walaupun non islam
2.      Sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf), syartanya;
a.       barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya, berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari
b.      milki sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau musya (bercampur dan tidak dapat dipindahkan dengan bagian yang lain
c.       Tempat berwakaf (yang berhaka menerima hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
d.      Akad, misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu dan sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum).
E.     Harta yang Diwakafkan
Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat untuk orang banyak, misalnya:
1.      sebidang tanah[5]
2.      pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
3.      bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
Dalam Islam, pemberian semacam ini termasuk sedekah jariyah atau amal jariyah, yaitu sedekah yang pahalanya akan terus menerus mengalir kepada orang yang bersedekah. Bahkan setelah meninggal sekalipun, selama harta yang diwakafkan itu tetap bermanfaat. Hadits nabi SAW:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Berkembangnya agama Islam seperti yang kita lihatsekarang ini diantaranya adalah karena hasil wakaf dari kaum muslimin. Bangunan-bangunan masjid, mushala (surau), madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya hampir semuanya berdiri diatas tanah wakaf. Bahkan banyak pula lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis taklim, madrasah, dan pondok-pondok pesantren yang kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah wakaf.
Karena itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi orang-orang yang kaya agar mau mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna kepentingan Islam. Hal ini dilakukan atas persetujuan bersama serta atas pertimbangan kemaslahatan umat dan dana yang lebih bermanfaat bagi perkembangan umat.
F.     Mengganti Barang Wakaf
Prinsip-prinsip wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Barang yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual. Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf semula tetap dapat diteruskan, yaitu memanfaatkan barang yang diwakafkan tadi.
Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan menurut inti dan tujuan hukumnya.
G.    Pengaturan Wakaf
Tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor pendukungnya ada dan berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf yang diserahkan kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan. Karena mekanisme kerja, susunan personalia, dan program kerja telah disiapkan secara matang oleh yayasan penanggung jawabnya.
Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara masing-masing orang yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu demi kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan wakaf semula mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola oleh yayasan-yayasan yang telah bonafide dan profesional, kemungkinan penyelewengan akan lebih kecil.


Referensi :
Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf produktif Strategis di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf ,Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2008
Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2008
Profil Badan Wakaf Indonesia Periode 2007-2010, Jakarta: Badan Wakaf Indonesia, 2008
http://badanwakafsirojulmunir.org/pengertian-wakaf/



[2] http://badanwakafsirojulmunir.org/pengertian-wakaf/
[3] Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2008
[4] Profil Badan Wakaf Indonesia Periode 2007-2010, Jakarta: Badan Wakaf Indonesia, 2008
[5] Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf produktif Strategis di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf ,Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2008

Tidak ada komentar: