JENIS DAN MEKANISME TRANSAKSI
DALAM KONTRAK PERDAGANGAN
Dosen
Pembimbing
Madnasir
Madnasir
Disusun
Oleh :
Johan Saputra
(1221040082)
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
2013
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirohim
Segala puji bagi Allah SWT, pengatur dan pemelihara
seluruh alam. Shalawat dan salam kepada Nabi dan Rasulnya Muhammad SAW, juga
keluarganya, sahabatnya serta seluruh umatnya yang mengikuti sunnahnya.
Makalah ini berisi tentang “Jenis Dan Mekanisme Transaksi Dalam Kontrak
Perdagangan” yang terkait dengan
Ekonomi Islam 2. Tujuan membuat makalah ini agar seluruh mahasiswa dan
mahasiswi dapat memahami dan mempelajari aspek dari Mekanisme Transaksi Jual
Beli. Karena itu sangat diharapkan bagi Mahasiswa(i) jurusan Manajemen Ekonomi untuk memahami
semua yang berkaitan dengan ekonomi.
Terima kasih tak lupa
dihaturkan untuk kerja sama dan kekompakan teman kelompok sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Dan tak lupa pula kami haturkan terima
kasih atas bantuan selama makalah ini dikerjakan.
Kami meyakini bahwa
makalah ini , tidak terlepas dari kekurangan yang tentunya masih dinanti kritik
dan saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya.
Bandar lampung, November 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bentuk-bentuk
akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah
terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan.
Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang
telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan
yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran
dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan
lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui
perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan
menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli
dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Pada
makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna’. Jual beli dengan
salam dan istishna’ ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan keamanannya
juga jelas. Maka jual beli salam dan istishna’ wajar jika masih banyak
diminati.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian barter?
2.
Apa pengertian Jual beli?
3.
Apa rukun dan syarat dari
as-salam, al-istishna’ dan murabahah?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian Barter serta dasar
hukumnya.
2.
Untuk mengetahui Jual beli serta dasar hukumnya.
3.
Untuk mengetahui rukun dan syarat as-salam,
al-istishna’ dan Murabahah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Barter
Perekonomian
barter adalah suatu perekonomian yang sistem transaksinya barang dipertukarkan
dengan barang. Perekonomian semacam ini pernah berlangsung dahulu kala semasa
uang belum ditemukan. Ketika itu setiap barang dapat dipertukarkan dengan
barang lain. Kemudian, katika lahirmya agama islam pada zaman Nabi
Muhammad SAW, arabia sudah meninggalkan sistem barter, dan memakai system
jualbelidanperdagangan.
Perdagangan
barter dalam bentuk modern, kendati tidak umum sesungguhnya pun masih
berlangsung dalam zaman skarang, baik antar pribadi maupun antar negara.
Indonesia saat ini juga menerapkan barter modern secara halus atau tidak
ketara, yakni melalui sistem “perdagangan imbal beli” (counter puchase). Negara
lain boleh mengekpor barang tertentu hasil produksinya dengan ketentuan harus
mengimpor barang tertentu lain dari sini.
Perdagangan
dengan pola barter rasanya bukanlah suatu yang terlarang dalam islam, sepanjang
terdapat kesukarelaan diantara pihak-pihak yang bertransaksi
B.
Jual
Beli
Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang
secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar
menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang
diperbolehkan oleh syara’atau menukarkan barang dengan barang atau barang
dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang
lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Hukum melakukan jual beli adalah boleh
(جواز)
atau (مباح),
sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275:
وأحل
الله البيع وحرم الربا
Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba
Dan hadist
Nabi yang berasal dari Rufa’ah bin Rafi’ menurut riwayat al- Bazar yang
disahkan oleh al-Hakim:
أن النبى صلى الله عليه وسلم سئل أى الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده
وكل بيع مبرور
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW,
pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik; nabi berkata: “Usaha
seseorang dengan tangannya dan jual beli
yang mabrur”.
Hikmah diperbolehkannya jual beli adalah
menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermu’amalah.
1.
Salam
Definasi jual beli salam, Menurut istilah hukum syarak, jual salam ialah menjual sesuatu benda
yang belum ada di hadapan mata, tetapi ditentukan sifat-sifat dan kadarnya.
Syarat-syarat
Barang Yang Dijual Salam
Sesuatu barang atau benda hendak dijual secara salam itu
disyaratkan :
- Boleh dianggarkan sifatnya, ertnya ada sifat-sifat yang boleh dibuat anggaran dan perbezaan dengannya.
- Tidak bercampur dengan benda-benda lain yang menyebabkan sukar hendak membuat anggarannya.
- Barang itu hendaklah tidak tertentu. Tidak boleh seperti kata penjual : “Saya jual salam kain ini kepada saudara.”
- Barang itu tidak berhad pada satu tempat saja.
- Barang itu hendaklah sesuatu yang sah dijualbeli.
Syarat-syarat
Sah Akad Jual Salam
Syarat-syarat sah akad jualbeli
salam ialah :
- Hendaklah dijelaskan jenis dan sifat-sifat penting bagi barang yang hendak dijual itu.
- Hendaklah dijelaskan juga kadarnya.
- Hendaklah ditetapkan masa tempoh untuk mendapatkannya.
- Hendaklah barang itu boleh didapati bila sampai tempoh yang ditetapkan.
- Hendaklah barang itu biasa didapati, bukan jarang-jarang didapati.
- Hendaklah ditetapkan tempat menerimanya.
- Hendaklah dibayar tunai harganya.
- Akad jualbeli ini terus berjalan kuatkuasanya, ertinya tidak sah jika disyaratkan khiar.
Peringatan
- Bila diserah barang itu sebagaimana yang disifatkan di dalam akadnya atau lebih baik lagi, wajiblah menerimanya.
- Kalau barang itu terkurang dari apa yang telah disifatkan, harus menerimanya, tetapi tidak wajib.
Hikmah Jual Beli
Salam
Di antara hikmat-hikmat diharuskan
jualbeli secara salam ialah :
- Untuk memberi kemudahan kepada anggota masyarakat menjalankan urusan perniagaan.
- Untuk menanamkan perasaan tolong menolong di antara satu sama lain.
Budi pekerti
Dalam Jual Beli Salam
Di antara budipekerti dalam jual
salam, ialah :
- Masing-masing hendaklah bersikap jujur dan tulus ikhlas serta hendaklah amanah dalam perjanjian-perjanjian yang telah dibuat.
- Penjual hendaklah berusaha memenuhkan syarat-syarat yang telah ditetapkan itu.
- Pembeli janganlah cuba menolak barang-barang yang telah dijanjikan itu dengan membuat berbagai-bagai alasan palsu.
- Sekiranya barang yang dibawa itu terkurang sedikit daripada syarat-syarat yang telah dibuat, masing-masing hendaklah bertolak ansur dan mencari keputusan yang sebaik-baiknya.
Hukum
jual beli salam
Jual
beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil Alquran
dan As-Sunnah serta ijma', juga
sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyas ash-shahih).
Pertama: Dalil
dari Alquran adalah firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا
تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak cara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS.
Al-Baqarah:282)
Sahabat
yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu
'anhuma, menjadikan ayat ini sebagai dasar bolehnya
jual beli salam. Beliau berkata,
أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُوْنَ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ وَأَذِنَ فِيْهِ ثُمَّ
قَرَأَ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
“Saya
bersaksi bahwa jual-beli as-salaf, yang terjamin hingga tempo yang ditentukan,
telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Alquran. Allah ta'ala berfirman
(yang artinya), 'Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
dengan cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.'” (Hadis
ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil, no.
340, dan beliau katakan, “Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi’i, no.
1314; Al-Hakim, 2:286; Al-Baihaqi, 6:18)
Kata
“apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai” bersifat umum; meliputi tidak
tunai dalam pembayaran dan tidak tunai dalam pemberian barang dagangannya.
Apabila tidak tunai dalam pemberian barangnya maka dinamakan “salam”. (Lihat
keterangan Syekh Ibnu Utsaimin tentang hal ini di Syarhu Al-Mumti’, 9:49)
Kedua: Dalil
dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma yang
berbunyi,
قَدِمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-
الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ
فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ
مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Ketika
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk
Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga
tahun, maka beliau bersabda, 'Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya
ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak)
dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga
tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.'" (Muttafaqun 'alaih)
Ketiga: Ulama
Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus)
tentang kebolehan sistem jual beli salam ini,
seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm.
93. Ibnu Qudamah rahimahullah
menyetujui penukilan ijma’ ini,
dengan menyatakan, “Semua ulama, yang kami hafal, telah sepakat menyatakan
bahwa as-salam itu
boleh.” (Al-Mughni, 6:385)
Keempat:
Kebolehan akad jual beli salam ini juga sesuai
dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh
Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, dalam
ungkapan beliau, “Analogi akal dan hikmah menuntut bolehnya jual beli ini,
karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang yang
membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran uang kontan, dan
pembeli mengambil keuntungan dengan mendapatkan barang lebih murah serta dengan
nilai harga di bawah (harga) pada umumnya. Kemaslahatan kembali kepada
keduanya.” (Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm.
150).
Oleh
karena itu, Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah
menjelaskan, “Kebolehan muamalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan
dan kemurahan syariat Islam karena muamalah ini berisi hal-hal yang mempermudah
orang dan mewujudkan maslahat bagi mereka, di samping bebas dari riba dan
terhindar dari seluruh larangan Allah.” (Al-Mulakhash Al-Fiqh, 2:60).
2.
Istishna
Istishna’
adalah jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan
akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara
angsuran. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah
disepakati di awal akad.
Akad
Istishna' ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan
seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak
ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga
yang disepakati antara keduanya. (Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani
5/2 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)
Hukum akad Istishna’
Ulama'
fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam dua
pendapat:
Pendapat
pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias
batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab
Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.
Ulama'
mazhab Hambali melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu
'anhu:
"Janganlah
engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu."
(Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul
Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)
Pada
akad istishna' pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang belum ia
miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam. Dengan
demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam hadits di atas. (Al Furu'
oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna' ialah menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114).
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna' ialah menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114).
Pendapat
kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam,
dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan
akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan
alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i.
Ulama'
yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang
berkaitan dengan akad salam. Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua
ini, maka dapat disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan
bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.
Akan
tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi adalah
jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan pada akad sewa jasa
harus dipenuhi, diantaranya yang berkaitan dengan tempo pengerjaan, dan jumlah
upah.
Pendapat ketiga:
Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan
ulama' penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang.
(Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnul
Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al
Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari'ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad'iyyah
oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448.
Landasan Syari’ah
Dalil pertama:
Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah
Ta'ala:"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba." (Qs. Al Baqarah: 275).
Berdasarkan
ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan
adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi
shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
Diriwayatkan
dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan
kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang
tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari
bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan
kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim)
Dalil ketiga: Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Dalil ketiga: Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Dalil keempat: Para
ulama' di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat
Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya."
"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya."
Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak
kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan
bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu
tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para
produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat
akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini
sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup
masyarakat.
Dalil keenam: Akad istishna' dapat mendatangkan banyak
kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak
jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak.
Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan
demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan
dan tidak dilarang.
Syarat dan Rukun Istishna’
Dengan
memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang
dibolehkan oleh Ulama' mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana
yang berlaku pada akad salam diantaranya:
1.
Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan
ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat
jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
2. Tidak
dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka
akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya
seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Akan
tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan
menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu
penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah
tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan,
karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at. (Al
Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/140 & Badai'i As Shanaai'i oleh Al
Kasaani 5/3)
3.
Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad
istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad
istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan
tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Dengan demikian,
akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat
biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan
kepada hukum asal (Badai'i As Shanaai'i oleh Al Kasaani 5/3, Fathul
Qadir oleh Ibnul Humamm 7/115 & Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu
Nujaim 6//185)
Akan
tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna' yang telah saya
sebutkan, maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak,
karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi
juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka
tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh
masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
3.
Murobahah
Kata al-Murabahah
diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan
(keuntungan), atau murabahah juga berarti Al-Irbaah karena salah satu
dari dua orang yang bertransaksi memberikan keuntungan kepada yang lainnya
(Ibnu Al-Mandzur., hal. 443.). sedangkan secara istilah, Bai’ul murabahah
adalah:
بَيْعٌ
بِمِثلِ الثمَنِ الأوَّلِ مَعَ زِيَادَةِ رِبْحٍ مَعلُوْمٍ
Yaitu jual
beli dengan harga awal disertai dengan tambahan keuntungan (Azzuhaili, 1997.,
hal. 3765). Definisi ini adalah definisi yang disepakati oleh para ahli fiqh,
walaupun ungkapan yang digunakan berbeda-beda. (Asshawy, 1990., hal.198.)
Menurut Para ahli hukum Islam
mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai berikut :
- ‘Abd ar-Rahman al-Jaziri mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai menjual barang dengan harga pokok beserta keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.
- Menurut Wahbah az-Zuhaili adalah jual-beli dengan harga pertama (pokok) beserta tambahan keuntungan.
- Ibn Rusyd --filosof dan ahli hukum Maliki-- mendefinisikannya sebagai jual-beli di mana penjual menjelaskan kepada pembeli harga pokok barang yang dibelinya dan meminta suatu margin keuntungan kepada pembeli.
- Ibn Qudamah --ahli hukum Hambali-- mengatakan bahwa arti jual-beli murabahah adalah jual-beli dengan harga pokok ditambah margin keuntungan.
Dengan kata lain,
jual-beli murabahah adalah suatu bentuk jual-beli di mana penjual
memberi tahu kepada pembeli tentang harga pokok (modal) barang dan pembeli
membelinya berdasarkan harga pokok tersebut kemudian memberikan margin
keuntungan kepada penjual sesuai dengan kesepakatan. Tentang “keuntungan yang disepakati”, penjual
harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah
keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Para
ahli hukum Islam menetapkan beberapa syarat mengenai jual-beli murabahah.
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa di dalam bai’ al-murabahah itu
disyaratkan beberapa hal, yaitu :
1.
Mengetahui
harga pokok
Dalam
jual-beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok/ harga asal
karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual-beli. Syarat ini juga
diperuntukkan untuk jual-beli at-tauliyyah dan al-wadi’ah.
2.
Mengetahui
keuntungan
Hendaknya
margin keuntungan juga diketahui oleh si pembeli. Karena margin keuntungan
termasuk bagian dari harga, sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah
jual-beli.
3.
Harga
pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada
waktu terjadi jual-beli dengan penjual yang pertama atau setelahnya, seperti
dirham, dinar, dan lain-lain.
Jual-beli
murabahah merupakan jual-beli amanah, karena pembeli memberikan amanah
kepada penjual untuk memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis.
Dengan demikian, dalam jual-beli ini tidak diperbolehkan berkhianat. Allah
telah berfirman :
" ياأيها الذين أمنوا لاتخونوا الله والرسول
وتخونوا أماناتكم وأ نتم تعلمون"
Berdasarkan
ayat di atas, apabila terjadi jual-beli murabahah dan terdapat cacat
pada barang, baik pada penjual maupun pada pembeli, maka dalam hal ini ada dua
pendapat ulama. Menurut Hanafiyah, penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat
pada barang karena cacat itu merupakan bagian dari harga barang tersebut.
Sementara jumhur ulama tidak memperbolehkan menyembunyikan cacat barang yang
dijual karena hal itu termasuk khianat. Penyembunyian cacat barang atau tidak
menjelaskannya menurut hukum Islam dianggap sebagai suatu pengkhianatan dan
merupakan salah satu cacat kehendak (‘aib min ‘uyub al- iradah) yang
berakibat pembeli diberi hak khiyar atau --dalam bahasa hukum perdata
Barat-- pembeli diberi hak untuk minta pembatalan atas jual-beli tersebut. Ibn
Juzai dari Mazhab Maliki mengatakan, “Tidak boleh ada penipuan jual-beli murabahah
dan jual-beli lainnya”. Termasuk penipuan adalah menyembunyikan keadaan
barang yang sebenarnya yang tidak diingini oleh pembeli atau mengurangi
minatnya terhadap barang tersebut.
Pengkhianatan
dalam jual-beli murabahah ini bisa terjadi mengenai informasi tentang
cara penjual memperoleh barang, yaitu apakah melalui pembelian secara tunai,
pembelian hutang atau sebagai penggantian dari suatu kasus perdamaian.
Pengkhianatan bisa juga terjadi tentang besarnya harga pembelian.
Apabila
pengkhianatan terjadi dalam hal informasi cara memperoleh barang, dimana
misalnya penjual menyatakan bahwa ia memperolehnya melalui pembelian tunai
padahal melalui pembelian hutang atau merupakan barang penggantian dalam suatu
kasus perdamaian, maka pembeli diberi hak khiyar untuk meneruskan atau
membatalkan akad tersebut. Atau dalam bahasa hukum perdata, pengkhianatan ini
merupakan suatu cacat kehendak dan memberikan hak kepada pembeli untuk meminta
pembatalan akad tersebut.
Apabila
pengkhianatan terjadi mengenai harga pokok barang di mana penjual menyatakan
suatu harga yang lebih tinggi dari harga sebenarnya yang ia bayar, maka dalam
hal ini ada perbedaan pendapat dalam mazhab Hanafi. Menurut Abu Hanifah,
pembeli boleh melakukan khiyar untuk meneruskan jual-beli atau
membatalkannya karena murabahah merupakan akad jual-beli yang
berdasarkan amanah. Menurut Abu Yusuf (133-182 H), pembeli tidak mempunyai hak khiyar,
melainkan berhak menurunkan harga ke tingkat harga riil sesungguhnya yang
dibayarkan oleh penjual ketika membeli barang bersangkutan serta penurunan
margin keuntungan dalam prosentase yang sebanding dengan penurunan harga pokok
barang. Mazhab Maliki sejalan dengan pendapat Abu Hanifah. Sedangkan mazhab
Syafi’i dan Hambali sejalan dengan pendapat Abu Yusuf..
Bai’
al-murabahah tidak memiliki rujukan/referensi langsung dari
al-Qur’an dan Sunnah. Yang ada hanyalah referensi mengenai jual-beli dan
perdagangan. Jual-beli murabahah ini hanya dibahas dalam kitab-kitab
fiqih dan itupun sangat sedikit dan sepintas saja. Para ilmuwan, ulama, dan
praktisi perbankan syari’ah agaknya menggunakan rujukan/dasar hukum jual-beli
sebagai rujukannya, karena mereka menganggap bahwa murabahah termasuk
jual-beli.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perekonomian
barter adalah suatu perekonomian yang sistem transaksinya barang dipertukarkan
dengan barang.
Jual beli adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan
dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’atau
menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan
melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua
belah pihak.
Salam adalah menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jual
beli as-salam yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek
transaksi, Sighat ‘ijab qabul, dan alat tukar.
Al-Istishna’ adalah akad jual beli
pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak
produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Rukun dan syarat istishna’ mengikuti bai’ as-salam. Hanya
saja pada bai’ al-istishna’ pembayaran tidak dilakukan secara
kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu penyerahan barang,
tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.
Murabahah adalah
suatu bentuk jual-beli di mana penjual memberi tahu kepada pembeli tentang
harga pokok (modal) barang dan pembeli membelinya berdasarkan harga pokok
tersebut kemudian memberikan margin
keuntungan kepada penjual sesuai dengan kesepakatan.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada
menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun
demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad
Syafi’I. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani
DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya
Hadi, Abd. 2010. Dasar-Dasar
Hukum Ekonomi Islam. Surabaya : Putra Media Nusantara
Ismail. 2011. Perbankan syariah. Jakarta : Kencana
Pasaribu, Chairuman;
Suhrawardi K. Lubis, 1994. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta : Sinar
Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar