LEMBAGA WAKAF SEBAGAI INSTRUMEN
HUKUM DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI KELUARGA
Johan Saputra
1221040082
Ekonomi Islam B
EKONOMI ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG
2014
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan
menurut istilah syara’, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk
diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu
benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak
pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.[1]
Ada
beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
1. Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah
seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang
kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
2. Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan
harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang
mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan
memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia
secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.
3. Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang
berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta
tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut
ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan
bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual
ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
4. Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan
sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas
kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat
5. Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun
1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf
itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh
diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang
layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak
dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk
kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti
asuhan, jalan umum, dan sebagainya.[2]
B. Perkembangan
Wakaf Di Indonesia
Paradigma pengelolaan wakaf secara mandiri, produktif dan
tepat guna dalam membangun sebuah peradaban masyarakat yang sejahtera
sesungguhnya telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika memerintahkan Umar
Bin Khattab agar mewakafkan sebidang tanahnya di Khaibar. Esensi penting dari
perintah ini dapat dipahami adalah pentingnya sebuah eksistensi benda wakaf dan
mengelolanya secara profesional. Sedangkan hasil dari pengelolaan tersebut
tentu saja diperuntukan bagi kepentingan kebajikan umum.[3]
Sebagai sebuah bangsa Islam yang besar, baik dari sisi
geografis maupun demografi, istilah wakaf mungkin belum begitu familiar
ditengah masyarakat Indonesia. Dari pengamalan wakaf yang sering ditemui
dimasyarakat Indonesia, dewasa ini masih tercipta perspektif wakaf yang lebih
diartikulasikan sebagai bentuk benda yang sifatnya tidak bergerak seperti
sebidang tanah, sebuah bangunan dan benda lain yang nilai manfaatnya
diperuntukan bagi kepentingan sosial masyarakat. Kedua, dalam praktiknya,
diatas tanah wakaf biasanya akan diikuti oleh didirikannya sebuah bangunan
ibadah seperti masjid atau lembaga pendidikan. Ketiga, penggunaan wakaf harus
didasarkan kepada wasiat pemberi wakaf (wakif). Selain itu juga terdapat
penafsiran bahwa untuk menjaga kekekalannya, tanah wakaf tidak boleh
diperjualbelikan.
Padahal benda yang bergerak, seperti uang misalnya, pada
hakikatnya juga merupakan salah satu bentuk instrumen wakaf yang memang
diperbolehkan dalam Islam. Saat ini dikalangan masyarakat luas mulai muncul
istilah cash waqf yang sering diterjemahkan sebagai wakaf tunai. Bila
menilik objek wakafnya yang berupa uang, kiranya lebih tepat jika cash waqf
diterjemahkan sebagai wakaf uang. Praktik wakaf uang atau tunai sebenarnya
telah dilakukan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi pada zamannya.
Artinya bentuk wakaf uang atau tunai ini memang telah muncul sejak lama dan
diaplikasikan oleh kelompok masyarakat tertentu yang menganut paham tertentu
sebagai salah satu bentuk ibadah.
Perbincangan tentang wakaf uang atau tunai ini semakin
mengemuka ketika perkembangan sistem perekonomian dan pembangunan yang ada
memunculkan inovasi-inovasi baru dewasa ini. Wakaf uang atau tunai mulai
diidentikasikan sebagai sebuah instrumen financial (financial instrument),
keuangan sosial dan perbankan sosial (social finance and voluntary sector
banking) yang mampu berafiliasi dengan perkembangan perekonomian dunia saat
ini menurut M.A Manan.
Ini menandakan bahwa sebenarnya berkembangnya wakaf tunai
yang semakin cepat, mulai menjadi bagian penting dalam pembiayaan perekonomian
terutama di sektor perdagangan dan invetasi yang tentu saja tidak lepas juga
dari majunya sistem perekonomian Islam pada saat ini. Semakin berkembangnya
peranan wakaf, terutama dalam bentuk uang, dilatarbelakangi juga oleh gagalnya
sistem kapitalis dan sistem ekonomi sosialis yang tidak mampu menjawab
permasalahan mendasar mengenai prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat di dunia dewasa ini.
Ada berbagai definisi mengenai pengertian wakaf. Secara
etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”.
Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada
dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut
dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti
pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf, mendefinisikan
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah (ketentuan umum dan pasal 2).
Imam Abu
Hanafah memberikan mendefiniskan wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut
hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk
kebajikan. Imam Malik berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut
kepada orang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak
boleh menarik kembali wakafnya. Esensi dari semua definisi diatas mengkerucut
kepada adanya harta yang diberikan seseorang untuk dimanfaatkan kepada hal yang
sifatnya kebajikan dan berguna bagi kehidupan sosial masyarakat secara umum.
C. Badan Wakaf
Indonesia
Ditengah permasalahan sosial masyarakat yang semakin rumit
dan tuntutan akan sebuah kehidupan yang adil dan makmur sesuai dengan amanat
UUD 1945, menjadikan peran wakaf semakin penting dalam membangun peradaban umat
Islam di Indonesia. Disamping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang
memiliki dimensi spiritual, wakaf merupakan ajaran yang menekankan pentingnya
kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Karena itu diperlukan pendefinisian
ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi rill
persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting.[4]
Untuk konteks Indonesia, perkembangan wakaf mulai menggeliat
kembali dimulai sekitar tahun 2000-an. Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang
wakaf menjadi jawaban bagi masa depan perwakafan di Indonesia agar dapat
diberdayakan secara lebih produktif dan mandiri. Keterbatasan mengenai fungsi
dan manfaat wakaf yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
serta Peraturan Dasar Agraria yang terangkum dalam UU No.5 Tahun 1960 yang
hanya mengatur benda tidak bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk
kepentingan ibadah mahdhah, seperti masjid, musholla, pesantren dll setidaknya
untuk saat ini mulai dapat diakomodasi kekurangannya dengan lahirnya UU No. 41
Tahun 2004.
Pemberdayaan wakaf setidaknya semakin menjadi lebih baik
lagi ketika dari sisi impelementasinya, pemerintah juga mengeluarkan peraturan
perundangan No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan wakaf itu sendiri. Kedua
peraturan itu menjadi urgensi yang sangat penting, karena selain untuk
kepentingan ibadah yang sifatnya mahdhah, aspek penekanan terhadap
pemberdayaan wakaf secara lebih produktif untuk kepentingan sosial dan
kesejahteraan umat juga dikedepankan sehingga akan berjalan selaras.
Pengelolaan wakaf secara profesional ini sangat penting
karena data yang dikeluarkan oleh Departemen Agama tahun 2003 yang juga
diperkuat oleh data CSRC (Centre for the Study of Religion and Research)
sedikit banyak memberikan gambaran bahwa asset wakaf di seluruh Indonesia
adalah 362.471 lokasi dengan total nilai sekitar 590 trilyun. Sayangnya hampir
semua asset wakaf tersebut masih cost centre sehingga masih memerlukan
investor untuk memproduktifkannya. Salah satu sumber dana investasi yang dapat
dioptimalkan adalah dana cash waqf seperti yang dilakukan oleh Prof. M.A
Mannan dengan SIBL nya di negara Bangladesh.
Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 juga membawa konsekuensi bagi
sistem pengelolaan wakaf di Indonesia agar lebih professional dan independen.
Untuk itu diperlukan suatau lembaga baru yang memiliki kapasitas dan
kapabilitas dalam memberdayakan asset wakaf di Indonesia agar lebih produktif.
Pentingnya pembentukan sebuah lembaga wakaf nasional yang bersifat independen
diperlukan dalam rangka untuk membina Nazhir (pengurus harta wakaf)
dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik secara nasional maupun
internasional.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) pun lahir sebagai jawaban bagi
pengembangan pengelolaan perwakafan Indonesia dengan lebih profesional dan
modern sehingga menghasilkan manfaat wakaf yang dapat mensejahterakan umat.
Sehingga kelak Badan Wakaf Indonesia akan menduduki peran kunci, selain
berfungsi sebagai Nazhir, BWI juga akan sebagai Pembina Nazhir
sehingga harta benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktif.
Potensi wakaf uang pada tahun 2007 untuk Indonesia nilainya
sekitar tiga trilyun per tahun. Jumlah ini memang masih jauh bila dibandingkan
dengan potensi zakat yang nilainya sekitar 21 trilyun menurut data PIRAC.
Tetapi perbedaan yang sangat signifikan adalah bahwa dana wakaf pokoknya akan
tetap utuh dan semakin terakumulasi dari tahun ke tahun. Hal ini berbeda
dengan dana zakat yang akan langsung habis dalam satu tahun. Tetapi angka tiga
trilyun tersebut masih merupakan data yang terlalu muluk karena faktanya di
lapangan, penghimpunan dana wakaf uang di Indonesia masih sangat sedikit.
Sebagai contoh Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang dikonsentrasikan untuk
penghimpunan dan pengelolaan wakaf uang baru mampu mengumpulkan dana wakaf uang
sekitar dua milyar per tahun.
Oleh karena itu
Badan Wakaf Indonesia (BWI) ke depan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang
mengelola wakaf secara independen dan mandiri agar dana yang dikelola lebih
produktif, akan tetapi fungsi penyadaran dan sosialisasi terhadap masalah
wakaf, baik fungsi dan manfaatnya kepada masyarakat harus juga dimainkan
perannya oleh Badan Wakaf Indonesia itu sendiri. Selama ini memang efektifitas
untuk memberdayakan wakaf dan juga menarik dana wakaf dari masyarakat untuk
dikelola oleh lembaga wakaf belum maksimal. Hal ini karena realisasi pencapaian
di lapangan dengan potensi wakaf dimasyarakat sendiri belum berbanding lurus dan
mencapai titik yang ideal.
Jika menengok
keberhasilan dari negara Bangladesh dalam pengelolaan
wakaf tunai dengan dilakukannya sosialisasi pengenalan Sertifikat Wakaf Tunai, ternyata
dapat mengubah kebiasaan dan pemahaman lama di tengah-tengah masyarakat Bangladesh, di mana biasanya orang yang berwakaf
diidentikkan hanya melibatkan orang-orang kaya saja. Dengan adanya Sertifikat
Wakaf Tunai yang dikeluarkan oleh Social Investment Bank Limited (SIBL)
memang dibuat dengan nilai yang dapat dijangkau oleh mayoritas masyarakat
Islam. Pola seperti ini, menjadikan ibadah wakaf bukan hanya didominasi
orang-orang kaya, tetapi juga dapat diamalkan oleh orang banyak sesuai keadaan
keuangan masing-masing. Selain itu pola seperti ini lebih mudah untuk
diamalkan, karena tidak memerlukan proses administrasi yang rumit seperti
halnya wakaf atas benda tidak bergerak.
Badan Wakaf
Indonesia (BWI) sebagai lembaga wakaf nasional kiranya dapat mencontoh pola
pengembangan wakaf yang ada di Bangladesh atau
setidaknya mengadobsi dengan menyesuaikan karakteristik budaya masyarakat
Indonesia. Diversifikasi program dan juga instrumen kebijakan yang lebih mudah
dicerna dan mengakomadasi budaya-budaya lokal yang ada di Indonesia, dapat
diterapkan mulai saat ini seperti yang terjadi di Bangladesh. Keragaman budaya
lokal yang sangat dinamis dan suku bangsa yang banyak di negara kita, menjadi
permasalahan sekaligus potensi tersendiri bagi Badan Wakaf Indonesia dalam
menghimpun dan mengelola dana masyarakat secara luas. Jika pendekatan yang
dilakukan kepada masyarakat dilakukan sesuai dengan budaya lokal yang ada
dimasyarakat, bukan tidak mungkin efektifitas penghimpunan dana dan pengelolaan
dana akan tercipta dan lebih efektif.
Badan
Wakaf Indonesia mempunyai fungsi sangat strategis dalam membantu, baik dalam
pembiayaan, pembinaan maupun pengawasan terhadap para Nazhir untuk dapat
melakukan pengelolaan wakaf secara lebih produktif. Pola organisasi dan
kelembagaan Badan Wakaf Indonesia harus mampu merespon persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Ditingkat
masyarakat, persoalan yang paling mendasar adalah kemiskinan, baik dalam arti
khsusus, yaitu seperti yang dicerminkan dengan tingkat pendapatan masyarakat,
maupun dalan arti luas, yang mencakup aspek kesehatan, pendidikan atau
pemenuhan hak-hak asasi pada umumnya.
Untuk
alternatif sumber dana, wakaf yang dikelola oleh sebuah lembaga nasional
seperti Badan Wakaf Indonesia misalnya, dapat dijadikan sumber dana potensial
dalam mengatasi permasalahan sosial seperti kemiskinan dan aspek permasalahan
turunnya. Masalah sosial kemasyarakatan tidak hanya menjadi tanggung jawab
negara semata saja sebagai sebuah institusi tertinggi dari penyelenggaraan tata
pemerintahan, namun menjadi persoalan bersama yang harus diselesaikan dengan bersama-sama
pula. Organisasi kemasyarakatan yang berbasis Islam turut juga bertanggung
jawab dengan membangun gerakan sosial yang lebih realistis dalam mengatasi
permasalahan ini. Akses sumber daya wakaf patut juga diberikan dan dibuka
secara luas kepada organisasi-organisasi Islam dan non Islam yang berafiliasi
sosial agar masalah kemiskinan yang ada dapat teratasi. Peran Badan Wakaf
Indonesia menjadi semakin penting dalam memainkan perannya. Tugas pokok seperti
mengadministrasi sampai dengan pengelolaan dana wakaf harus selaras dengan
program yang telah dibuat. Acuan waktu yang dipakai juga harus dapat diukur
seperti jangka pendek, menengah dan panjang karena hal ini akan terkait dengan
visi dan misi organisasi yang dibuat.
Dalam
membiayai pembangunan dan pengentasan kemiskinan, Badan Wakaf Indonesia bersama
pemerintah seharusnya juga dapat bersinergi dalam rangka memanfaatkan sumber
daya wakaf untuk kepentingan bangsa. Potensi dana wakaf yang sangat besar dapat
dikelola untuk sumber pendanaan pemberdayaan ekonomi umat secara umum. Wakaf
sebenarnya juga dapat menjadi alternatif solusi bagi pendanaan pembangunan
negara jika dikelola dengan baik. Selama ini secara konvensional dana pinjaman
untuk pembiayaan utang negara diambil dari utang luar negeri atau dalam negeri.
Instrumen yang dipakai pemerintah pun tidak jauh-jauh dari Surat Utang Negara,
Penerbitan ORI dan instrumen pinjaman modal lain yang pada intinya berusaha
menarik dana masyarakat untuk dipinjam oleh negara dalam rangka membiayai
pembangunan. Wakaf sebenarnya dapat memainkan peran sebagai instrument
pengganti jika dikelola dengan maksimal. Sayangnya pengelolaan sumber dana
wakaf ini masih kurang maksimal. Sehingga untuk menuju kearah itu masih
dibutuhkan waktu yang lama.
Lembaga
wakaf nasional seperti Badan Wakaf Indonesia, harus sudah mulai dapat menjalin
kerjasama dengan pihak swasta dalam pengelolaan wakaf untuk produktifitas benda
wakaf yang dikelolanya. Aset wakaf yang ada dapat diberdakan secara kolektif
dengan swasta profesional untuk mengerjakan proyek-proyek yang mengikutsertakan
aset wakaf tersebut sebagai bagian utama kegiatan usaha seperti dibidang
pertanian.
Mencermati
lebih lanjut mengenai faktor penyebab utama mengapa potensi wakaf di Indonesia
belum produktif, pada prinsipnya masalah ini terletak ditangan Nazhir,
selaku pemegang amanah dari Waqif (orang yang berwakaf) untuk mengelola
dan mengembangkan harta wakaf. Artinya, pengelolaan harta wakaf belum dilakukan
secara profesional.
Di lihat dari
cara pengelolaannya selama ini, ada tiga tipe Nazhir di Indonesia. Pertama, dikelola
secara tradisional. Harta wakaf masih dikelola dan ditempatkan sebagai ajaran
murni yang dimasukkan dalam kategori ibadah semata. Seperti untuk kepentingan
pembangunan masjid, madrasah, mushala dan kuburan. Kedua, harta wakaf
dikelola semi profesional. Cara pengelolaannya masih tradisional, namun para
pengurus (nazhir) sudah mulai memahami untuk melakukan pengembangan harta wakaf
lebih produktif. Namun, tingkat kemampuan dan manajerial nazhir masih terbatas.
Ketiga, harta wakaf dikelola secara profesional. Nazhir dituntut mampu
memaksimalkan harta wakaf untuk kepentingan yang lebih produktif dan dikelola
secara profesional dan mandiri.
Peran Badan
Wakaf Indonesia (BWI), selaku lembaga independen yang lahir berdasarkan amanat
UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, memiliki tanggung jawab besar dalam
memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia (Pasal 47). Selain itu,
Badan Wakaf Indonesia juga bertanggung jawab dalam membina Nazhir agar
menjadi lebih profesional. Misalnya dengan menyelenggarakan sejumlah pelatihan
pengelolaan harta wakaf, menerbitkan buku-buku wakaf dan lainnya.
Apalagi,
pengembangan wakaf kini didukung oleh UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No 41
tersebut, maka tidak ada alasan lagi bila pengelolaan dan pengembangan harta
wakaf di Indonesia tertinggal dengan negara-negara lain di dunia. Mestinya,
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar.
Di era otonomi
daerah yang semakin menguat, potensi pengembangan wakaf juga semakin besar jika
disinergikan dengan peraturan dan keinginan daerah. Tentunya hal ini akan
menjadi hal yang menarik karena otonomi daerah sangat memberikan peluang bagi
pengembangan dan pemberdayaan pengelolaan wakaf itu sendiri. Pola pengembangan
organisasi Badan Wakaf Indonesia sendiri sudah harus mulai berorientasi kepada
daerah dengan menyiapkan SDM Nazhir di daerah agar lebih profesional.
Fungsi-fungsi yang melekat di tubuh Badan Wakaf Indonesia seperti fungsi
motivator, fungsi fasilitator, fungsi regulator, fungsi eduation, dan
fungsi pendukung lainnya harus selaras dan tidak over lapping dalam
implementasinya. Diperlukan sistem organisasi yang tanggap dengan tantangan
jaman dan perubahan yang dinamis di masyarakat dalam mengefektifkan wakaf
sebagai alternatif sumberdaya untuk penciptaan kesejahteraan sosial masyarakat.
Jika dicermati
lebih dalam selama ini masih banyak sumber daya daerah yang belum dikelola
denan baik. Jika masing-masing daerah yang memiliki sumber daya yang cukup
memadai, bukan tidak mungkin bahwa lembaga perwakafan dibentuk melalui
peraturan daerah (Perda) dan khusus mengatur tentang kemungkinan dan kelayakan
wakaf, baik yang menyangkut wakaf konvensional, wakaf uang, dan bentuk wakaf
lain. Sehingga persoalan wakaf tidak lagi menjadi otoritas pemerintah pusat
atau lembaga tertentu yang ditunjuk pemerintah pusat, melainkan juga mejadi
program produktif masing-masing daerah yang akan membawa kemaslahatan bersama
bagi masyarakat daerah juga.
Untuk
menjalankan semua rencana praktis diatas, maka peran Badan Wakaf Indonesia
sebagai lembaga pengelola harta (dana tunai) wakaf nasional memerlukan sumber
daya manusia yang baik sesuai dengan merit system organisasi dan
kecakapan ilmu yang dimiliki dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannya.
Peningkatan
kualitas SDM pengelola wakaf seperti Nazhir diperlukan karena sudah menjadi
sebuah rahasia umum bahwa lembaga keummatan selalu identik dengan
ketidakprofesionalan, sehingga lembaga keummatan termasuk lembaga wakaf bukan
menjadi pilihan awal tenaga kerja nomor satu. Lembaga ini selalu menjadi
pilihan nomor dua atau bahkan pilihan akhir ketika tidak ada perusahaan atau
lembaga lain yang menampungnya. Dan lebih parahnya adalah menjadi tempat
pembuangan SDM yang sudah tidak produktif. Sehingga tidak salah apabila kinerja
lembaga keummatan termasuk wakaf tidak dapat tumbuh secara cepat, baik tumbuh
dalam penghimpunannya maupun pengelolaannya. Dan menjadi tugas bersama untuk
meningkatkan kualitas SDM lembaga wakaf ini, sehingga nantinya tidak terdengar
ada asset wakaf yang tidak dikelola, atau terdapat asset wakaf yang hilang,
diperebutkan dan lain sebagainya.
D.
Syarat dan
Rukun Wakaf
Syarat-syarat
harta yang diwakafkan sebagai berikut:
1. Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu
tertentu (disebut takbid).
2. Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa
yang akan datang. Misalnya, “Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih
besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz
3. Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf)
dan bisa dimiliki barang yang diwakafkan (mauquf) itu
Rukun wakaf diantaranya :
1.
Orang yang berwakaf (wakif),
syaratnya;
a. Kehendak sendiri
b. Berhak berbuat baik walaupun non islam
2.
Sesuatu (harta) yang
diwakafkan (mauquf), syartanya;
a. barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya,
berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari
b. milki sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau musya
(bercampur dan tidak dapat dipindahkan dengan bagian yang lain
c. Tempat berwakaf (yang berhaka menerima hasil wakaf itu),
yakni orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
d.
Akad, misalnya: “Saya
wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu dan sebagainya”
tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum).
E. Harta yang Diwakafkan
Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa
dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta
yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh
pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu,
harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat
untuk orang banyak, misalnya:
1. sebidang tanah[5]
2. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
3. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
Dalam Islam, pemberian semacam ini termasuk sedekah jariyah
atau amal jariyah, yaitu sedekah yang pahalanya akan terus menerus mengalir
kepada orang yang bersedekah. Bahkan setelah meninggal sekalipun, selama harta
yang diwakafkan itu tetap bermanfaat. Hadits nabi SAW:
اِذَا مَاتَ
ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ
عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka
terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang
mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.”
(HR Muslim)
Berkembangnya agama Islam seperti yang kita lihatsekarang
ini diantaranya adalah karena hasil wakaf dari kaum muslimin. Bangunan-bangunan
masjid, mushala (surau), madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya
hampir semuanya berdiri diatas tanah wakaf. Bahkan banyak pula lembaga-lembaga
pendidikan Islam, majelis taklim, madrasah, dan pondok-pondok pesantren yang
kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah wakaf.
Karena itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi
orang-orang yang kaya agar mau mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna
kepentingan Islam. Hal ini dilakukan atas persetujuan bersama serta atas
pertimbangan kemaslahatan umat dan dana yang lebih bermanfaat bagi perkembangan
umat.
F. Mengganti Barang Wakaf
Prinsip-prinsip wakaf diatas adalah pemilikan terhadap
manfaat suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau
dibagikan. Barang yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya
akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali
dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual.
Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti
barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak
tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf semula tetap dapat diteruskan,
yaitu memanfaatkan barang yang diwakafkan tadi.
Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di
Kuffah ke tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang
lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka
mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan
menurut inti dan tujuan hukumnya.
G. Pengaturan Wakaf
Tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor
pendukungnya ada dan berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf.
Wakaf yang diserahkan kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan.
Karena mekanisme kerja, susunan personalia, dan program kerja telah disiapkan
secara matang oleh yayasan penanggung jawabnya.
Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara
masing-masing orang yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu
demi kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau
denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara
demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan wakaf semula
mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola
oleh yayasan-yayasan yang telah bonafide dan profesional, kemungkinan
penyelewengan akan lebih kecil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada
beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
1. Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah
seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang
kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
2. Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan
harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang
mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan
memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia
secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.
3. Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang
berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta
tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut
ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan
bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual
ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
4. Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan
sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas
kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat
5. Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun
1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf
itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh
diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang
layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak
dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk
kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti
asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Panduan Pemberdayaan
Tanah Wakaf produktif Strategis di Indonesia, Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf ,Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI, 2008
Strategi
Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2008
Profil Badan Wakaf Indonesia Periode
2007-2010, Jakarta:
Badan Wakaf Indonesia, 2008
http://badanwakafsirojulmunir.org/pengertian-wakaf/
[3]
Strategi
Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2008
[5]
Panduan
Pemberdayaan Tanah Wakaf produktif Strategis di Indonesia, Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf ,Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar